Santo Hieronimus berkata, "Tak Kenal Kitab Suci, Tak Kenal Kristus"

Selasa, 19 April 2016

101 TANYA JAWAB KITAB SUCI: APAKAH KITAB SUCI BENAR SECARA HARAFIAH (7)

23. Mengetahui bahwa tidak semua yang dikisahkan dalam Kitab Suci terjadi secara harfiah, pasti menjadi batu sandungan bagi banyak orang.
Saya tidak yakin sejauh mana hal  itu berlaku umum, karena pembaca sekarang sudah semakin kritis, terutama di negara-negara maju. Dugaan saya,  karena pendidikan  sejak  Sekolah  dasar  hingga  Sekolah  Lanjutan, orang  sudah  menyadari  bahwa  sebagian  buku  Kitab   Suci bukanlah  kisah  historis.  Menjadi  sandungan  atau  tidak, tergantung bagaimana hal itu disampaikan.
Menurut hemat saya, tidak ada gunanya kalau seorang  berdiri di  mimbar atau di depan kelas dan mengatakan, bahwa hal ini atau  itu  tidak  pernah   sungguh-sungguh   terjadi.   Saya mempunyai sebuah contoh, walau secara pedagogis dan teologis tidak begitu bagus, "Para majus dari Timur itu tidak  pernah ada."  Saya paham bahwa ada keberatan serius untuk meragukan kesejarahan kejadian para majus dalam Kisah Masa Kanak-kanak Matius.  Akan  tetapi  kepastian  dalam  menentukan ada atau tidaknya para majus, tetap  berada  di  luar  wewenang  ahli Kitab Suci. Sungguh sukar untuk membuktikan penolakan mutlak tersebut. Maka bahkan dalam  lingkungan  yang  murni  ilmiah pun,  sebaiknya  orang  tidak  mangatakan  hal  itu.  Secara pedagogis, saya tidak melihat bagaimana hal itu bisa membawa manfaat  bagi  para  pendengar.  Apa lagi kalau diucapkan di dalam gereja, karena orang ke gereja justru ingin mengetahui lebih  baik  perihal  Allah.  Bagaimana  mereka bisa semakin dekat dengan Allah dengan diberi tahu bahwa para majus tidak pernah  ada? Secara teologis, pernyataan negatif semacam itu hanya  mengalihkan  perhatian  dari   maksud   cerita   yang sebenarnya, dan menyampaikan gagasan, bahwa cerita itu hanya ingin menyampaikan fakta saja.

Menurut pendapat saya,  kalau  orang  ingin  berkotbah  atau mengajar  tentang  kisah  para majus dalam suasana religius, sebaiknya ia menyampaikan  latar  belakang  Perjanjian  Lama yang  indah mengenai orang bijaksana dari Timur yang membawa wahyu ilahi bagi Israel.  Bandingkan  kisah  Bileam.  Dengan begitu  para  pendengar  dapat menangkap pesan Injil Matius. Orang kafir berpedoman pada sumber pengetahuan  yang  mereka miliki,   sampai  pada  kesimpulan  untuk  menyembah  Allah. Memang, mereka masih tetap memerlukan bimbingan  Kitab  Suci Yahudi  untuk  menentukan  di  mana Raja orang Yahudi lahir. Kalau  orang  bisa  menunjukkan  bahwa  injil  Matius  ingin menceritakan  kembali  kisah  dari Perjanjian Lama itu, maka dengan sendirinya akan tersampaikan, bahwa kisah  dari  para majus  dari Timur bukanlah kisah historis. Tanpa menunjukkan bahwa  suatu  cerita  tidak  historis,  orang  justru  tidak meremehkan   nilai   teologis   cerita  ini.  Maka  menjawab pertanyaan terselubung anda, rasanya tidak akan menjadi batu sandungan  menyampaikan atau mengajarkan masing-masing kitab sesuai  dengan  jenis  sastranya.  Jika  sejarah   hendaknya disampaikan  sebagai  sejarah,  jika  perumpamaan  hendaknya disampaikan  sebagai  perumpamaan.  Hanya  saja  pengajarnya harus   peka   terhadap   baik  maksud  buku  maupun  maksud penyampaian.
Akan saya tunjukkan implikasi dari hal diatas.  Kadang  kala karena  takut  menyebabkan skandal, orang mengira lebih baik memperlakukan kisah tidak historis sebagai  historis  dengan harapan  tidak menimbulkan persoalan. Ini gagasan yang salah dan    berbahaya.    Kebenaran    Tuhan    perlu    dilayani sebaik-baiknya.  Berbahaya  mengajarkan  sesuatu  yang  oleh kaidah ilmu pengetahuan dinyatakan salah. Cepat atau  lambat mereka  yang  diajar  bahwa kisah Yunus historis dan bab-bab pertama  Kejadian  adalah  ilmiah,  tentu   akan   menyadari kesalahannya.    Konsekwensinya   mungkin   mereka   menolak kebenaran ilahi yang disampaikan dalam  bab-bab  itu.  Dalam mengolah   bagian  Kitab  Suci  manapun,  orang  tidak  usah memunculkan persoalan yang tidak dimengerti oleh  pendengar. Merahasiakan   masalah   yang  sangat  rumit  tidak  berarti mengajarkan secara salah.
Dalam mengajarkan Kisah Masa Kanak-kanak Yesus,  saya  tidak akan  mempersoalkan  kesejarahannya.  Tetapi saya juga tidak akan  secara  tersurat  maupun  tersirat  mengatakan   bahwa peristiwa-peristiwa  yang  ada  di sana  historis  dan harus dipercaya. Kita perlu  hati-hati  agar  tidak  menilai  para pendengar  terlalu  naif.  Saya  tidak terlalu percaya kalau anak-anak SD mendengar kisah para  majus  dari  Timur  dalam hatinya tidak bertanya apakah kisah itu sungguh-sungguh atau hanya sebuah 'cerita.' Tantangan yang dihadapi para pengajar adalah  menemukan  jalan tengah antara membenarkan bahwa itu sungguh  terjadi  dan  mengisyaratkan  bahwa  itu   hanyalah 'sebuah cerita.' Cerita yang di dalamnya merupakan kebenaran ilahi disampaikan kepada kita.
24. Sejauh mana kita boleh menganggap bahwa kisah-kisah Kitab Suci tidak benar-benar terjadi? Bagi saya tidak ada masalah bahwa dunia tidak diciptakan dalam enam hari dan kehidupan berkembang secara evolutif. Akan tetapi bagaimana tentang Adam dan Hawa? Menurut pastor, saya harus percaya bahwa mereka sungguh-sungguh pernah ada.
Mungkin  baik  bahwa  pastor anda  mengatakan  hal  seperti  itu.  Waktu  saya  masih  di Seminari saya pun diajar  secara  sangat  harafiah  mengenai keberadaan  Adam  dan  Hawa.  Sebagian  itu  karena pengaruh Komisi   Kitab   Suci   Kepausan   yang   menyatakan   bahwa bagian-bagian   tertentu  kisah  Kejadian  harus  dimengerti secara harafiah,  termasuk  pemunculan  setan  dalam  bentuk seekor ular. Kita diajar harus menerima bahwa wanita pertama dibentuk dari pria pertama,  ada  kesatuan  seluruh  manusia dalam  arti  semua  manusia  adalah  keturunan dari pasangan pertama itu. Mungkin pastor anda hasil didikan sebelum tahun 50-an,  karena  memang  begitulah  yang diajarkan kepadanya. Akan tetapi pada tahun 1955  Sekretaris  Komisi  Kitab  Suci Kepausan   menyatakan   bahwa   orang   Katolik  kini  bebas menanggapi pernyataan Komisi  yang  dikeluarkan  sebelumnya, kecuali yang menyangkut soal iman dan susila.
Akan  tetapi  mengenai  Adam  dan  Hawa  malah semakin rumit karena dikeluarkannya ensiklik Humani Generis oleh Paus Pius XII  pada  tahun  1950. Beliau menyinggung teori polygenisme (manusia yang sekarang  hidup  di  muka  bumi  berasal  dari banyak  pasangan keluarga) dan mengatakan "Sama sekali tidak jelas  bagaimana   mungkin   pendapat   semacam   itu   bisa didamaikan"  dengan  apa  yang  telah  diajarkan  sehubungan dengan dosa asal.  Ada  yang  menafsirkan  hal  itu  sebagai kutukan  atas  teori  polygenisme,  tetapi  bukan  itu  yang dinyatakan.  Banyak  teolog  berpikir  bahwa  adanya  banyak pasangan  nenek moyang bisa didamaikan dengan ajaran tentang dosa asal, bahkan dengan pandangan Paulus mengenai dosa yang masuk ke dunia lewat satu orang (Rm 5). Mengherankan situasi ilmiah telah bergeser. Kalau pada tahun  1950-an  kebanyakan ilmuwan  mendukung  teori polygenisme, kini penemuan genetik tampaknya menyarankan bahwa manusia  berasal  dari  sepasang nenek moyang.
Gagasan  tentang  ada  berapa  pasang nenek moyang, sebagian adalah isyu ilmiah. Maka kalau  kita  membicarakannya  dalam rangka  religius,  kita  harus  waspada supaya tidak memihak kepada salah  satu  pendapat  yang  belum  terbukti.  Maksud religius  asli  dalam kisah Adam dan Hawa adalah bahwa entah satu  atau  banyak  pasang  nenek   moyang,   mereka   semua diciptakan oleh Tuhan. Tuhanlah yang meniupkan roh kehidupan ke dalam diri mereka. Lebih  jauh  lagi,  mereka  diciptakan baik,  bukan  jahat.  Bahkan  kita  pun juga diciptakan baik bukan jahat. Namun dalam kemanusiaan ada kecenderungan dasar dosa,   yang   melebihi  dosa  pribadi  yang  kita  lakukan. Kecenderungan ke arah yang jahat ini merupakan  bagian  dari kehancuran  yang  dibawa  oleh  manusia kedalam dunia, bukan pemberian dari Allah. Dengan begitu kita tetap menjaga  inti konsep  dosa  asal. Kita juga bisa merasakan betapa bagusnya kisah  sederhana  Kitab   Suci   tentang   Adam   dan   Hawa menyampaikan  gagasan tentang dosa dan asal-usulnya. Kiranya tidak ada cerita modern yang bisa menggantikannya. Ada jalan tengah   antara   pendapat   pastor   anda  yang  menekankan kesejarahan kisah Adam dan Hawa dengan pernyataan, "Adam dan Hawa tidak pernah ada," yang merusak dan tidak tepat.
25. Entah anda memandang kisah Adam dan Hawa secara harfiah atau secara perumpamaan, tidakkah itu merugikan dalam arti menghina wanita?
Saya harus  hati-hati  dalam menjawab  pertanyaan  ini.  Saya tidak ingin terperangkap ke dalam isu  feminisme  yang  di  luar  kemampuan  saya  baik sebagai  ahli  Kitab  Suci  atupun sebagai lelaki. Saya kira kalau dimengerti secara  tepat,  kisah  Kejadian  itu  tidak menghina  wanita.  Memang  ada  beberapa  bagian  Kitab Suci mengisyaratkan   penghinaan    terhadap    wanita,    karena mengekspresikan   kecurigaan   pada   waktu   itu   ditulis. Penciptaan perempuan dari salah satu tulang rusuk  laki-laki seperti  digambarkan  dalam Kej 2:21 tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa wanita hanyalah  makhluk  kelas  dua  yang diturunkan  dari  pria.  Jawaban  Adam  pada  Kej  2:23 yang mengatakan: "Tulang dari tulangku dan daging dari  dagingku" jelas  menyatakan bahwa wanita dihargai sama dengan pria. Ia bukan binatang  atau  ciptaan  yang  lebih  rendah.  Sasaran seluruh  kisah penciptaan sebenarnya merupakan argumen untuk menentang pendapat  bahwa  wanita  hanyalah  barang-bergerak milik  pria  yang  boleh ditempatkan pada tingkat yang lebih rendah. Kej 1:27 menyatakan bahwa dalam menciptakan manusia, Tuhan   menciptakannya   laki-laki   dan  perempuan  menurut gambar-Nya. Di sini jelas bahwa antara pria dan  wanita  ada persamaan derajat, serta bersama-sama mereka membentuk citra Allah.
Ada baiknya sedikit mengetahui tentang  status  wanita  yang dianggap  lebih  rendah  di  sekitar  negara-negara  sekitar Israel dan dalam praktek kehidupan di Israel sendiri. Dengan begitu  orang akan lebih mudah memahami maksud penulis kitab Kejadian yang mau mengoreksi perendahan derajat  wanita  dan menentang   teologi   yang  merendahkan  wanita.  Jadi  pada dasarnya kisah penciptaan justru membuka cakrawala baru bagi para   pengajar   dan   pengkotbah.   Kisah  itu  menawarkan nilai-nilai dasar tentang martabat wanita dan pria.
26. Mari kita tinggalkan kisah Adam dan Hawa. Kalau cerita tadi diterima secara simbolik atau perumpamaan, di mana kita harus berhenti? Apakah Abraham, Musa, Daud atau Yeremia memang pernah ada? Menurut saya, dengan menjauhkan kesejarahan Kitab Suci, anda telah masuk ke dalam persoalan yang rumit.
Pendekatan  harafiah  memang lebih mudah. Tetapi dalam hal kehidupan ada banyak persoalan rumit yang tidak  dapat  diselesaikan  dengan  jawaban  yang sederhana saja. Saya beri contoh dari kehidupan sehari-hari. Orang yang telah selesai  membaca  buku  pedoman  memelihara rumah,  waktu ingin memperbaiki suatu kerusakan sering masih harus memanggil tukang, kalau tidak mau frustrasi.  Mengapa? Ada  banyak kesulitan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Hal serupa juga terjadi dalam hubungan antara Tuhan dan manusia. Secara  alami  kita sering jengkel terhadap urusan Tuhan dan manusia yang terasa rumit.
Kisah Abraham memang mempunyai latar belakang sejarah  umum, tetapi  ia juga dihormati sebagai leluhur dua bangsa: Israel dan Arab (Ismael). Karenanya, dalam  kisah  itu,  pasti  ada sifat  allegoris.  Kisah  Musa  merupakan  bagian dari suatu kisah  kepahlawanan  nasional,  yang  di  dalamnya  prestasi seorang  tokoh  dan  sejarah suatu bangsa terjalin. Beberapa bagian kisah Daud  mungkin  berasal  dari  penulis  biografi istana  yang  hidup  pada  masa itu dan menulis dengan cukup objektif. Di dalam ketiga  kisah  itu  memang  ada  sejarah, walau  kadar dan rinciannya berbeda-beda. Kenyataan seperti itu memang  rumit.  Kerumitan  serupa  juga  terdapat  dalam sejarah  bangsa-bangsa  modern. Kita harus menahan kebosanan kita karena Tuhan  tidak  menyisihkan  sejarah  Israel  dariperubahan-perubahan yang menimpa bangsa-bangsa lain.
27. Bagaimana tentang penemuan-penemuan kepurbakalaan? Tidakkah mereka menegaskan kesejarahan sebagian besar Kitab Suci?
Kepurbakalaan atau arkeologi memberi   gambaran   macam-macam.   Tentu  penemuan-penemuan arkeologis telah  membantu  menjelaskan  kebiasaan-kebiasaan dalam  Kitab Suci, situasi sosial dan lingkungan fisik. Kita mendengar penemuan kota-kota dan  rumah-rumah  tempat  orang Israel  masa  Kitab  Suci  hidup. Bahkan penemuan arkeologis telah menjelaskan praktek-praktek dari zaman Perjanjian Baru seperti penyaliban, penguburan atau jalan-jalan di Yerusalem yang barangkali pernah dilewati Yesus.

Kendati demikian, kalau  dituntut  untuk  memberi  kepastian dari  suatu  kejadian  dalam  Kitab  Suci, penemuan-penemuan arkeologis tidak sependapat. Misalnya, pada awal  penggalian Yerikho,  temuan  tembok  yang dihancurkan bagi banyak orang merupakan  bukti  penghancuran  tembok  oleh  Yosua.  Tetapi teknik  yang  lebih  baru menentukan bahwa kehancuran tembok terjadi jauh sebelum Yosua, dan  menunjukkan  bahwa  Yerikho pada  zaman  Yosua  diduduki pun tidak. Beberapa tempat yang disebut dalam kisah Kitab Suci waktu  penyerbuan  Israel  ke Palestina, dari   penggalian-penggalian    menunjukkan tanda kehancuran di masa yang oleh para ahli   diyakini    sebagai masa Keluaran. Gagasan bahwa arkeologi membuktikan benarnya Kitab Suci itu tidak   tepat   dan  menyesatkan. Kritik  Kitab     Suci  mengisyaratkan bahwa kisah-kisah yang ingin ditegaskan oleh para  penggali  tidak  seluruhnya historis. Maka dari itu tidak  mengherankan jika yang diceritakan pun tidak didukung oleh arkeologi.

Baca juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar