31. Kapan proses kanonisasi itu terjadi?
Proses kanonisasi sudah terjadi sejak semula. Dalam penggunaan tulisan-tulisan Kitab Suci, umat sendiri, baik umat PL maupun umat PB membuat seleksi antara tulisan-tulisan yang ada. Baru kemudian, mulai dengan abad kedua Masehi, dibuat daftar-daftar yang kurang lebih resmi. Dan daftar yang sungguh resmi sebetulnya baru dibuat oleh Konsili Trente pada abad ke-16.
32. Bagaimana cara membakukan/kanonisasi Kitab Suci?
Proses itu terjadi dan dilaksanakan di kalangan jemaat. Mereka membedakan buku-buku yang betul-betul mereka akui sebagai buku yang mengungkapkan iman Gereja, dan buku-buku yang hanya merupakan tulisan seseorang. Bisa jadi bahwa tulisan-tulisan perorangan itu baik-baik, tetapi tidak merupakan ungkapan iman Gereja. Maka oleh umat, di bawah bimbingan pimpinan Gereja, tulisan itu tidak diakui sebagai Kitab Suci
33. Adakah syarat/kriteria untuk pembakuan itu?
Kriteria yang dipakai ada tiga. Yang pertama isi: Oleh umat dilihat apakah ini benar-benar mengungkapkan iman Gereja. Bukan hanya perasaan atau iman seseorang, tetapi betul-betul iman seluruh Gereja. Kriteria yang kedua adalah kriteria universal: Diterima sebagai Kitab Suci, buku-buku yang oleh seluruh Gereja dan dimana-mana diakui sebagai Kitab Suci. Berhubung dengan itu juga masih ada unsur ketiga ialah umur pemakaian buku itu: Hanya diakui sebagai Kitab Suci buku-buku yang dari awal diterima oleh Gereja dimana-mana.
Tentu saja dalam penerapan dan penggunaan kriteria-kriteria itu orang bekerja sesuai dengan kemampuan dan kemungkinan situasinya. Maka kriteria-kriteria itu tidak bersifat ilmiah dan juga cara menyelidikinya tidak terlalu ilmiah. Suatu buku diterima atau ditolak, menurut keyakinan umat.
34. Siapa yang membuat kanonisasi itu?
Yang membuat kanonisasi itu adalah umat, seluruh Gereja. Memang dibawah bimbingan hierarki, namun tidak oleh hierarki saja. Malahan justru penggunaan liturgis dalam jemaat adalah cara yang utama dalam menentukan kanon itu.
35. Apakah proses kanonisasi sungguh ditentukan oleh umat?
Memang proses kanonisasi sungguh ditentukan oleh umat. Umat perdana. Setelah ditetapkan – dan itu praktis terjadi dalam abad kedua atau ketiga - tidak ada keragu-raguan lagi. Juga tidak ada diskusi lagi dan tidak ada perubahan lagi. Maka kalau dikatakan kanonisasi dilakukan oleh umat, itu tidak berarti bahwa umat sewaktu-waktu dapat meninjau kembali kanon Kitab Suci. Sekarang ini kanon Kitab Suci, baik PL maupun PB, telah ditetapkan dan tidak bisa diubah lagi.
36. Untuk apa dibuat kanonisasi?
Ditetapkan kanon Kitab Suci, supaya orang tahu, mana buku-buku yang oleh Gereja diakui sebagai Kitab Suci. Supaya tahu dimana ada sumber iman. Supaya tahu mana pedoman pokok untuk iman orang kristiani.
37. Apakah arti kata apokrip?
Kata apokrip berarti "tersembunyi." Buku yang bersifat apokrip, maksudnya buku yang tidak dikenal. Buku yang ditulis secara "sembunyi-sembunyi." Buku yang tidak resmi. Buku yang tidak diterima umum. Tulisan-tulisan yang memang keluar dengan nama seorang nabi atau seorang rasul, tetapi sebetulnya tidak termasuk tulisan para nabi atau para rasul.
38. Apakah beda apokrip dan deuterokanonika?
Disini harus membedakan kata "apokrip" menurut paham protestan dan menurut paham katolik. Apa yang disebut apokrip oleh orang katolik, oleh orang protestan disebut "pseudepigrapha" (tulisan tiruan). Sedangkan apa yang oleh orang protestan disebut "apokrip" oleh katolik disebut "deuterokanonika." Kata "deuterokanonika" berarti menurut kanon kedua, yakni buku-buku yang termasuk dalam daftar Kitab Suci yang kedua. Daftar Kitab Suci yang kedua adalah daftar Kitab Suci terjemahan Yunani. Sebetulnya soal deuterokanonika menyangkut PL saja. PL ditulis dalam bahasa Ibrani, sebagian dalam bahasa Aram, dan sebagian yang amat kecil dalam bahasa Yunani. Bagian yang ditulis dalam bahasa Yunani oleh orang protestan tidak diakui sebagai bagian dari Kitab Suci. Dan oleh karena itu disebut apokrip, tidak termasuk Kitab Suci, tidak termasuk kanon Kitab Suci. Tetapi Gereja katolik berpendapat bahwa tulisan-tulisan itupun termasuk Kitab Suci. Memang tidak termasuk daftar buku-buku Ibrani dan Aram, tetapi termasuk daftar yang lebih luas atau "daftar kedua." Buku-buku itu adalah "deuterokanonika." Adapun buku-buku deuterokanonika itu ialah buku Yudith, buku Tobit, buku Makabe I, buku Makabe II, Kitab Kebijaksanaan, Putera Sirakh, Baruch (bab 1-5), Surat Yeremia (= Barukh bab 6). Jadi semuanya adalah tujuh (atau delapan). Di samping itu juga sebagian tambahan dari buku Esther, dan sebagian tambahan dari buku Daniel (yakni Dan 13 dan 14). Yang tidak diterima oleh Gereja katolik (dan tentu juga tidak oleh Gereja protestan) adalah buku Esra I, buku Makabe III dan Makabe IV dan Mazmur-mazmur Salomo, walaupun keempat buku itu juga termasuk KSPL bahasa Yunani atau Septuaginta.
39. Buku mana sajakah yang disebut apokrip itu? Beri contoh!
Ada banyak sekali buku-buku apokrip. Misalnya Injil Tomas, atau Injil Petrus, atau Kisah Pilatus, atau Wasiat Yeremia atau Wasiat Musa, dst. Tulisan-tulisan itu kebanyakan, juga yang serupa dengan tulisan PL, ditulis pada abad ketiga atau keempat Masehi. Dan kebanyakan juga ditulis dalam bahasa Yunani. Sedikit sekali yang ditulis dalam bahasa Ibrani atau Aram. Semua itu adalah tulisan-tulisan yang dibuat pada waktu tulisan-tulisan yang betul-betul termasuk kanon Kitab Suci sudah beredar secara umum dan diterima dimana-mana.
40. Mengapa katolik memakai Deuterokanonika sebagai Kitab Suci?
Ini adalah soal tradisi. Kitab Suci bahasa Yunani, yakni Septuaginta, dipakai di kalangan orang Yahudi dari mana juga berasal kelompok Gereja perdana. Dari surat-suratnya kelihatan bahwa Santo Paulus seringkali mempergunakan Septuaginta itu, begitu juga tulisan-tulisan PB yang lain. Maka Kitab Suci yang dipakai oleh Gereja perdana adalah Septuaginta. Oleh sebab itu Gereja tidak pernah mempersoalkan hal itu dan tetap meneruskan praksis dari Gereja perdana itu, dengan menyeleksi secara kritis empat buku dari Septuaginta yang tidak diakui, yakni buku pertama Esra, buku ketiga dan keempat Makabe dan Mazmur-mazmur Salomo. Baru kemudian pada zaman Reformasi hal ini dipermasalahkan oleh Luther dan kawan-kawannya. Lalu yang menjadi pertanyaan: Apa sebetulnya Kitab Suci itu sendiri? Oleh karena Septuaginta berupa terjemahan dengan tambahan, maka dikatakan tidak asli. Yang diterima hanyalah Kitab Suci berbahasa Ibrani. Tetapi di situ justru kelihatan perbedaan antara orang protestan dan orang katolik. Bagi orang protestan yang paling pokok adalah bukunya, teksnya. Sedangkan bagi orang katolik tulisan Kitab Suci pada dasarnya tidak lain dari pengungkapan iman, yang semula secara lisan diwartakan dalam jemaat. Maka yang pokok adalah pewartaan lisan, yang kemudian dibukukan dalam Kitab Suci. Perbedaan pandangan, yang sangat tajam pada zaman Reformasi itu, menyangkut perbedaan antara Kitab Suci dan tradisi. Kitab Suci ialah buku sebagaimana ditulis pertama kali atas ilham Allah, dan tradisi adalah ajaran yang secara turun-temurun diteruskan dan sedikit demi sedikit dibukukan. Dewasa ini baik protestan maupun katolik mengakui bahwa Kitab Suci dan tradisi tidak bisa dipisahkan, apalagi dilawankan. Kitab Suci tidak hanya berasal dari tradisi, tetapi juga diteruskan dalam tradisi dan senantiasa harus dipahami dalam tradisi. Dari lain pihak tradisi menjadi kabur, kalau tidak mempunyai pusat yaitu Kitab Suci, dimana tradisi dikalimatkan dan dirumuskan dengan jelas. Tetapi pada zaman Luther, Kitab Suci sangat dilawankan dengan tradisi. Dan itupun masuk akal. Karena pada zaman Reformasi apa-apa saja disebut "tradisi." Gereja kurang membedakan antara Tradisi pokok atau inti, dan segala macam adat kebiasaan yang ada didalam Gereja dan yang tidak lain daripada ciptaan manusia. Maka untuk mencari inti dan yang pokok, para reformatores melawankan Kitab Suci dengan tradisi. Di kemudian hari mulai disadari bahwa pertentangan itu terlalu keras. Dan bahwa Kitab Suci tidak bisa dilepaskan dari tradisi. Tetapi pada periode Kitab Suci masih dipertentangkan dengan tradisi, dipertahankan PL dalam bahasa Ibrani-melawan terjemahan Yunani yang dianggap "tradisi." Sebaliknya Gereja katolik, yang dari semula sangat menekankan tradisi, dengan mudah sekali meneruskan apa yang sudah selalu dilakukan ialah menerima Septuaginta sebagai ungkapan yang tepat dari tradisi. Dengan demikian Gereja katolik mau meneruskan apa yang sudah merupakan tradisi PB sendiri. Dan yang terakhir itu dewasa ini diakui oleh banyak orang protestan pula.
Proses kanonisasi sudah terjadi sejak semula. Dalam penggunaan tulisan-tulisan Kitab Suci, umat sendiri, baik umat PL maupun umat PB membuat seleksi antara tulisan-tulisan yang ada. Baru kemudian, mulai dengan abad kedua Masehi, dibuat daftar-daftar yang kurang lebih resmi. Dan daftar yang sungguh resmi sebetulnya baru dibuat oleh Konsili Trente pada abad ke-16.
32. Bagaimana cara membakukan/kanonisasi Kitab Suci?
Proses itu terjadi dan dilaksanakan di kalangan jemaat. Mereka membedakan buku-buku yang betul-betul mereka akui sebagai buku yang mengungkapkan iman Gereja, dan buku-buku yang hanya merupakan tulisan seseorang. Bisa jadi bahwa tulisan-tulisan perorangan itu baik-baik, tetapi tidak merupakan ungkapan iman Gereja. Maka oleh umat, di bawah bimbingan pimpinan Gereja, tulisan itu tidak diakui sebagai Kitab Suci
33. Adakah syarat/kriteria untuk pembakuan itu?
Kriteria yang dipakai ada tiga. Yang pertama isi: Oleh umat dilihat apakah ini benar-benar mengungkapkan iman Gereja. Bukan hanya perasaan atau iman seseorang, tetapi betul-betul iman seluruh Gereja. Kriteria yang kedua adalah kriteria universal: Diterima sebagai Kitab Suci, buku-buku yang oleh seluruh Gereja dan dimana-mana diakui sebagai Kitab Suci. Berhubung dengan itu juga masih ada unsur ketiga ialah umur pemakaian buku itu: Hanya diakui sebagai Kitab Suci buku-buku yang dari awal diterima oleh Gereja dimana-mana.
Tentu saja dalam penerapan dan penggunaan kriteria-kriteria itu orang bekerja sesuai dengan kemampuan dan kemungkinan situasinya. Maka kriteria-kriteria itu tidak bersifat ilmiah dan juga cara menyelidikinya tidak terlalu ilmiah. Suatu buku diterima atau ditolak, menurut keyakinan umat.
34. Siapa yang membuat kanonisasi itu?
Yang membuat kanonisasi itu adalah umat, seluruh Gereja. Memang dibawah bimbingan hierarki, namun tidak oleh hierarki saja. Malahan justru penggunaan liturgis dalam jemaat adalah cara yang utama dalam menentukan kanon itu.
35. Apakah proses kanonisasi sungguh ditentukan oleh umat?
Memang proses kanonisasi sungguh ditentukan oleh umat. Umat perdana. Setelah ditetapkan – dan itu praktis terjadi dalam abad kedua atau ketiga - tidak ada keragu-raguan lagi. Juga tidak ada diskusi lagi dan tidak ada perubahan lagi. Maka kalau dikatakan kanonisasi dilakukan oleh umat, itu tidak berarti bahwa umat sewaktu-waktu dapat meninjau kembali kanon Kitab Suci. Sekarang ini kanon Kitab Suci, baik PL maupun PB, telah ditetapkan dan tidak bisa diubah lagi.
36. Untuk apa dibuat kanonisasi?
Ditetapkan kanon Kitab Suci, supaya orang tahu, mana buku-buku yang oleh Gereja diakui sebagai Kitab Suci. Supaya tahu dimana ada sumber iman. Supaya tahu mana pedoman pokok untuk iman orang kristiani.
37. Apakah arti kata apokrip?
Kata apokrip berarti "tersembunyi." Buku yang bersifat apokrip, maksudnya buku yang tidak dikenal. Buku yang ditulis secara "sembunyi-sembunyi." Buku yang tidak resmi. Buku yang tidak diterima umum. Tulisan-tulisan yang memang keluar dengan nama seorang nabi atau seorang rasul, tetapi sebetulnya tidak termasuk tulisan para nabi atau para rasul.
38. Apakah beda apokrip dan deuterokanonika?
Disini harus membedakan kata "apokrip" menurut paham protestan dan menurut paham katolik. Apa yang disebut apokrip oleh orang katolik, oleh orang protestan disebut "pseudepigrapha" (tulisan tiruan). Sedangkan apa yang oleh orang protestan disebut "apokrip" oleh katolik disebut "deuterokanonika." Kata "deuterokanonika" berarti menurut kanon kedua, yakni buku-buku yang termasuk dalam daftar Kitab Suci yang kedua. Daftar Kitab Suci yang kedua adalah daftar Kitab Suci terjemahan Yunani. Sebetulnya soal deuterokanonika menyangkut PL saja. PL ditulis dalam bahasa Ibrani, sebagian dalam bahasa Aram, dan sebagian yang amat kecil dalam bahasa Yunani. Bagian yang ditulis dalam bahasa Yunani oleh orang protestan tidak diakui sebagai bagian dari Kitab Suci. Dan oleh karena itu disebut apokrip, tidak termasuk Kitab Suci, tidak termasuk kanon Kitab Suci. Tetapi Gereja katolik berpendapat bahwa tulisan-tulisan itupun termasuk Kitab Suci. Memang tidak termasuk daftar buku-buku Ibrani dan Aram, tetapi termasuk daftar yang lebih luas atau "daftar kedua." Buku-buku itu adalah "deuterokanonika." Adapun buku-buku deuterokanonika itu ialah buku Yudith, buku Tobit, buku Makabe I, buku Makabe II, Kitab Kebijaksanaan, Putera Sirakh, Baruch (bab 1-5), Surat Yeremia (= Barukh bab 6). Jadi semuanya adalah tujuh (atau delapan). Di samping itu juga sebagian tambahan dari buku Esther, dan sebagian tambahan dari buku Daniel (yakni Dan 13 dan 14). Yang tidak diterima oleh Gereja katolik (dan tentu juga tidak oleh Gereja protestan) adalah buku Esra I, buku Makabe III dan Makabe IV dan Mazmur-mazmur Salomo, walaupun keempat buku itu juga termasuk KSPL bahasa Yunani atau Septuaginta.
39. Buku mana sajakah yang disebut apokrip itu? Beri contoh!
Ada banyak sekali buku-buku apokrip. Misalnya Injil Tomas, atau Injil Petrus, atau Kisah Pilatus, atau Wasiat Yeremia atau Wasiat Musa, dst. Tulisan-tulisan itu kebanyakan, juga yang serupa dengan tulisan PL, ditulis pada abad ketiga atau keempat Masehi. Dan kebanyakan juga ditulis dalam bahasa Yunani. Sedikit sekali yang ditulis dalam bahasa Ibrani atau Aram. Semua itu adalah tulisan-tulisan yang dibuat pada waktu tulisan-tulisan yang betul-betul termasuk kanon Kitab Suci sudah beredar secara umum dan diterima dimana-mana.
40. Mengapa katolik memakai Deuterokanonika sebagai Kitab Suci?
Ini adalah soal tradisi. Kitab Suci bahasa Yunani, yakni Septuaginta, dipakai di kalangan orang Yahudi dari mana juga berasal kelompok Gereja perdana. Dari surat-suratnya kelihatan bahwa Santo Paulus seringkali mempergunakan Septuaginta itu, begitu juga tulisan-tulisan PB yang lain. Maka Kitab Suci yang dipakai oleh Gereja perdana adalah Septuaginta. Oleh sebab itu Gereja tidak pernah mempersoalkan hal itu dan tetap meneruskan praksis dari Gereja perdana itu, dengan menyeleksi secara kritis empat buku dari Septuaginta yang tidak diakui, yakni buku pertama Esra, buku ketiga dan keempat Makabe dan Mazmur-mazmur Salomo. Baru kemudian pada zaman Reformasi hal ini dipermasalahkan oleh Luther dan kawan-kawannya. Lalu yang menjadi pertanyaan: Apa sebetulnya Kitab Suci itu sendiri? Oleh karena Septuaginta berupa terjemahan dengan tambahan, maka dikatakan tidak asli. Yang diterima hanyalah Kitab Suci berbahasa Ibrani. Tetapi di situ justru kelihatan perbedaan antara orang protestan dan orang katolik. Bagi orang protestan yang paling pokok adalah bukunya, teksnya. Sedangkan bagi orang katolik tulisan Kitab Suci pada dasarnya tidak lain dari pengungkapan iman, yang semula secara lisan diwartakan dalam jemaat. Maka yang pokok adalah pewartaan lisan, yang kemudian dibukukan dalam Kitab Suci. Perbedaan pandangan, yang sangat tajam pada zaman Reformasi itu, menyangkut perbedaan antara Kitab Suci dan tradisi. Kitab Suci ialah buku sebagaimana ditulis pertama kali atas ilham Allah, dan tradisi adalah ajaran yang secara turun-temurun diteruskan dan sedikit demi sedikit dibukukan. Dewasa ini baik protestan maupun katolik mengakui bahwa Kitab Suci dan tradisi tidak bisa dipisahkan, apalagi dilawankan. Kitab Suci tidak hanya berasal dari tradisi, tetapi juga diteruskan dalam tradisi dan senantiasa harus dipahami dalam tradisi. Dari lain pihak tradisi menjadi kabur, kalau tidak mempunyai pusat yaitu Kitab Suci, dimana tradisi dikalimatkan dan dirumuskan dengan jelas. Tetapi pada zaman Luther, Kitab Suci sangat dilawankan dengan tradisi. Dan itupun masuk akal. Karena pada zaman Reformasi apa-apa saja disebut "tradisi." Gereja kurang membedakan antara Tradisi pokok atau inti, dan segala macam adat kebiasaan yang ada didalam Gereja dan yang tidak lain daripada ciptaan manusia. Maka untuk mencari inti dan yang pokok, para reformatores melawankan Kitab Suci dengan tradisi. Di kemudian hari mulai disadari bahwa pertentangan itu terlalu keras. Dan bahwa Kitab Suci tidak bisa dilepaskan dari tradisi. Tetapi pada periode Kitab Suci masih dipertentangkan dengan tradisi, dipertahankan PL dalam bahasa Ibrani-melawan terjemahan Yunani yang dianggap "tradisi." Sebaliknya Gereja katolik, yang dari semula sangat menekankan tradisi, dengan mudah sekali meneruskan apa yang sudah selalu dilakukan ialah menerima Septuaginta sebagai ungkapan yang tepat dari tradisi. Dengan demikian Gereja katolik mau meneruskan apa yang sudah merupakan tradisi PB sendiri. Dan yang terakhir itu dewasa ini diakui oleh banyak orang protestan pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar