Santo Hieronimus berkata, "Tak Kenal Kitab Suci, Tak Kenal Kristus"

Kamis, 05 Agustus 2010

KERASULAN KITAB SUCI ANAK-ANAK

Kerap kali kita lihat dan kita dengar dalam kehidupan menggereja, anak-anak kurang mendapat sentuhan dan pendampingan yang optimal oleh Gereja. Anak-anak dianggap sebagai “cah cilik” yang dalam batas-batas tertentu tidak boleh terlibat dan dilibatkan dalam hidup menggereja. Padahal, dengan baptis, anak-anak pun memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga Gereja. Dalam perayaan ekaristi saja misalnya, anak seringkali malah diajak orangtuanya untuk duduk di luar gereja, hanya saat “berkat bathuk”, anak masuk ke dalam gereja dan setelah itu dibiarkan berkeliaran, entah dimana. Dalam pendampingan- pendampingan iman anak (PIA) pun, tampak bagaimana pendalaman iman tersebut belum diseriusi. Anak “cuma” diajak nyanyi-nyanyi, menggambar, makan-makan, just have fun”, tetapi apakah anak semakin kenal Yesus??? Di kalangan Romo Paroki dan Dewan Paroki pun, tidak seluruhnya atau bahkan malah belum memberikan perhatian (dengan program-program yang terencana untuk anak) bagaimana anak bisa didampingi imannya. Mengapa hal ini penting??? Salah satu ungkapan mutiara dari St.Hieronimus “Siapa tidak mengenal Kitab Suci, tidak mengenal Yesus”. Nah, disinilah peranan sangat penting dari Kitab Suci, bagaimana orang dapat beriman kepada Yesus kalau tidak kenal Yesus. Bagaimana orang dapat kenal Yesus kalau tidak pernah mengenal kitab suci (minimal membaca kitab suci?). Bagaimana orang cinta Yesus kalau tidak pernah tahu Yesus? Oleh karena itu, pengenalan kitab suci bagi anak-anak ADALAH SANGAT PENTING. Mari kita belajar dari Kitab Suci sendiri:

Belajar dari Yesus:
Selama masa pelayanan-Nya sebagai manusia, Yesus Kristus telah menyambut dan memberkati anak-anak. Markus 10:13-16 (lih jg Mat 19:13-15; Luk 18:15-17), menceritakan hal menarik tentang anak-anak. "Lalu orang banyak membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-muridNya memarahi orang-orang itu. Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: "Biarkan anak-anak itu datang kepadaKu, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil ia tidak akan masuk kedalamnya. Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tanganNya atas mereka Ia memberkati mereka."
Saat anak-anak kecil dibawa pada Yesus, mereka memang masih terlalu kecil untuk mengerti betapa luar-biasanya pertemuan itu, tapi mereka tentu dapat merasakan kehangatan kasih Yesus. Dan setelah mereka dewasa, mereka pasti membalas kasih-Nya. Kata Ibrani yang digunakan untuk “anak kecil” pada ayat tersebut, menerangkan bahwa anak-anak tersebut benar-benar masih sangat kecil, jadi gagalkah upaya Kristus? Tentu tidak, kata Ibrani yang sama juga digunakan dalam II Timotius 3:15 yaitu bahwa sejak masa kecilnya Timotius telah "mengenal kitab suci yang memberi (nya) hikmat dan menuntun kepada keselamatan oleh iman kepada Yesus Kristus."
Khotbah gereja perdana menunjukkan bagaimana para rasul menekankan pesan keselamatan yang juga melibatkan anak-anak. Dengan mengacu pada “generasi ini” Petrus berkata, "Bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak yang akan dipanggil Tuhan Allah kita" (Kisah 2: 39). Janji apakah yang sedang dibicarakan Petrus? Petrus berbicara mengenai janji Allah tentang keselamatan bagi semua orang yang percaya Kristus adalah Anak Allah dan menerima-Nya dengan iman dan pertobatan (Kisah 2:22-42).
Bahkan orang dewasa diingatkan untuk bertingkah laku seperti anak-anak. Saat pria “dewasa” sibuk memikirkan siapa yang berhak mendapat tempat tertinggi, Kristus berkata, "Jika kamu tidak bertobat dan tidak menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk kedalam Kerajaan Surga. Dan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga" (Matius 18:3-4). Dalam banyak hal, anak kecil lebih gampang menerima kebenaran rohani dibanding orang dewasa.

Tradisi keluarga Yahudi:
Ada yang berpendapat bahwa seorang anak harus mencapai usia tertentu (sering disebut sebagai “usia dewasa”) agar dapat membuat keputusan rohani dalam hidupnya. Seringkali usia dua belas atau tiga belas tahun dijadikan patokan karena orang Yahudi melakukan upacara khusus di usia tersebut. Tradisi Yahudi menyebutkan bahwa anak usia enam (6) tahun setelah bisa baca tulis diberi gulungan-gulungan kitab (parliamen) yang berisi dasar pengakuan monoteis / Syema (Ul 6:4-9; 16:13-21; Bil 15:37-41). Bahkan ketika keluarga-keluarga Yahudi berdoa, anak-anak diajar untuk senantiasa mengingat syema itu dengan mengikatkan parliamen tersebut (saat doa) di lengan dan dahi dengan tujuan supaya selalu dibaca dan diingat. Keluarga-keluarga juga meletakkan parliamen di dalam tabung kecil yang biasanya ditaruh di pintu rumah sehingga ketika orang pergi atau pulang ke senantiasa ingat. Selain mengajarkan dasar monoteis tersebut, kidung Hallel (Mzm 113-118) atau mazmur pujian, dan kisah penciptaan diperkenalkan kepada anak, termasuk juga menemukan ayat-ayat emas. Menarik sekali, bagaimana ayat-ayat emas ini diajarkan, yaitu si anak disuruh menemukan ayat-ayat yang mengesan, yang huruf pertama dan huruf terakhir ayat tersebut, merupakan huruf depan dan huruf terakhir nama si anak. Mau tidak mau, si anak harus mencarinya dengan membaca kitab suci.
Ketika anak usia 12/13 tahun, anak diajar untuk mengenal hukum Taurat. Dalam usia ini, anak diajar untuk bertanggungjawab melaksanakan hukum Taurat. Biasanya, pada hari Sabat yang paling dekat dengan hari ulang tahun si anak pada usia 12/13 tahun, anak melaksanakan “ujian kedewasaan” yaitu hadir di rumah ibadat (sinagoga/bait Allah), tampil di mimbar untuk membacakan sabda (kitab Taurat), kemudian diuji dengan pertanyaan-pertanyaan. Apabila dapat menjawabnya dan dinilai lulus, berarti si anak masuk ke dalam usia dewasa. Pada usia 20/21 tahun, seorang anak dapat belajar untuk menjadi Rabi (guru) setelah sebelumnya mempelajari seluruh kitab perjanjian lama.

Tanggungjawab Orangtua dan Gereja:
Seperti yang ditegaskan Santo Paulus kepada jemaat di Roma, juga kepada Gereja sekarang ini,
“Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” (Rm 10:17). Oleh karena itu, sejak dini adalah sangat penting mengajarkan (membacakan) firman Allah yang tertulis dalam kitab suci kepada anak-anak supaya iman mereka bertumbuh dan berkembang. Keluarga- keluarga krisiani sejati harus memiliki alkitab sebagai landasan dan mereka mengajarkannya pada anak-anak. Kitab suci bukan untuk disimpan, tetapi dibaca, dikenal dan dipelajari supaya semakin mengenal Allah dalam Kristus Yesus, semakin dekat dan mencintai-Nya. Karena "iman datang dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Allah", orang yang sering diajar mengenal Firman akan lebih cepat menerimaNya dibanding orang yang jarang atau yang tidak pernah mendengar Firman. Karena itu, Tuhan memberikan berbagai perintah dalam alkitab agar orang tua lebih memperhatikan pertumbuhan rohani anak-anak mereka. Inilah kesaksian Paulus pula untuk menyadarkan Timotius, “Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu. Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus.” (2Tim 3: 14-15).

Baca juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar