Santo Hieronimus berkata, "Tak Kenal Kitab Suci, Tak Kenal Kristus"

Kamis, 29 Juli 2010

PERTEMUAN 1: PENDAHULUAN

Mengakhiri uraiannya tentang “Pentingnya Kerasulan Kitab Suci bagi Umat Katolik sejak Konsili Vatikan II”, Pater C. Groenen menulis:
Dari atas sampai ke bawah kerasulan kitab suci adalah sesuatu yang amat mendesak sekali. Kiranya tidak ada seorangpun yang berani mengatakan bahwa di bidang ini di Indonesia keadaannya memang baik sekali. Sebaliknya setiap orang dapat melihat betapa banyak kekurangan justru di bidang ini. Ini tidak perlu dipersalahkan kepada siapapun. Belum lama berselang sarana yang perlu tidak ada. Misalnya sebuah terjemahan modern, sarana dasari, baru-baru saja tersedia. Hanya di masa mendatang kelalaian dalam kerasulan Kitab Suci mungkin dapat menjadi suatu kesalahan yang sukar dimaafkan. (Lembaga Biblika Indonesia, Kerasulan Kitab Suci, Jakarta 1977, halaman 12).

Sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu pendapat itu dilontarkan. Selama itu sudah banyak hal yang terjadi berhubungan dengan kerasulan Kitab Suci. Pemahaman arti kerasulan Kitab Suci semakin dipertajam dalam berbagai tulisan. Dengan demikian landasan untuk gerakan kerasulan Kitab Sucipun semakin kokoh pula dan arah pun semakin jelas (Lih misalnya Ekawarta 1{1987} hal 11). Sarana-sarana dasari sudah cukup banyak disediakan, termasuk sarana-sarana penunjang yang berupa terbitan-terbitan dalam bidang tafsir, teologi Kitab Suci, bahan-bahan serta metoda-metoda kelompok Kitab Suci. Kecuali itu kegiatan-kegiatan yang didukung oleh Lembaga Biblika Indonesia dan para delegatus Kitab Suci di setiap Keuskupan tidak dapat disebut kurang. Pertanyaan yang dapat muncul ialah: mengapa muncul arus atau gerakan Kitab Suci dalam Gereja Katolik? Dalam rangka apakah gerakan ini harus ditempatkan?

Gerakan Kitab Suci harus ditempatkan dalam rangka pembaharuan hidup seluruh Gereja. Paus Yohanes XXIII memanggil Konsili Vatikan II dalam rangka pembaruan seluruh Gereja. Gereja ingin memahami dirinya secara baru, lebih mendalam dan utuh. Dari pemahaman itu diharapkan muncul kehidupan baru yang membuat Gereja mampu melaksanakan peranan sesuai dengan panggilannya di dunia ini, yang kemudian dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja dirumuskan sebagai “di dalam Kristus Gereja merupakan sakramen, yakni tanda dan alat kesatuan mesra dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia” (LG 1).
Dalam rangka pembaharuan inilah Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi berperan sebagai dasar dan sekaligus kerangka pemikiran. Kalau Gereja mengharapkan hidupnya selalu baru, maka ia harus melandaskan keberadaannya dan menempatkan seluruh pengalaman hidupnya dalam rangka sejarah penyelamatan Allah. Gereja bukan pertama-tama suatu lembaga yang dulu didirikan oleh Yesus atau para rasul, akan tetapi adalah umat yang dihimpun oleh sabda Allah yang hidup (PO 4). Gereja adalah umat Allah yang dipanggil dan dihimpun oleh Allah yang bersabda dan berkarya dalam sejarah. Sabda dan karya Allah dalam sejarah, atau dengan kata lain sejarah penyelamatan Allah itu dirumuskan dalam Kitab Suci. Inilah kebaruan pandangan yang pokok dan radikal serta menentukan mengenai Gereja dalam Konsili Vatikan II. Dengan demikian jelas sekali bahwa sabda Allah merupakan dasar bagi kehidupan Gereja dan diharapkan juga menentukan ciri-ciri keberadaannya dalam sejarah. Kesadaran ini secara jelas tampak dalam Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, yang sangat dijiwai Kitab Suci. Teks-teks Kitab Suci tidak hanya dikutip sebagai hiasan atau untuk membenarkan pandangan yang sudah disusun atau ditentukan lebih dahulu. Gagasan dasar dan seluruh teologi Gereja sungguh dijiwai Kitab Suci (Lih misalnya C. Groenen, Teologi Katolik sudahkah berorientasi Kitab Suci? Ekawarta 5 {1985} hal 50-54). Dengan jiwa itu, Gereja tidak akan pernah “mandeg”, tetapi selalu dinamis, bergerak maju, “tidak berhenti memperbarui diri, sampai ia melalui salib mencapai terang yang tak kunjung terbenam” (LG 9).

Gerakan pembaruan Gereja tidak berjalan tanpa arah. Gereja membutuhkan pedoman. Maka tidak ada kemungkinan lain kecuali kembali ke asal-usul keberadaan dan sumber hidup Gereja sendiri, yaitu pewartaan para Rasul yang termuat dalam Kitab Suci. Tidak ada pedoman yang dapat dipakai untuk gerakan pembaruan yang begitu banyak seginya, kecuali sabda Allah sendiri yang tertulis dalam Kitab Suci. Memang Kitab Suci bukanlah buku pegangan atau buku pintar yang dapat memberi jawaban langsung atas pertanyaan-pertanyaan atau tantangan-tantangan kehidupan yang muncul. Tetapi Kitab Suci, sabda Allah seharusnya menjadi terang untuk mencari jawaban yang tepat sesuai rencana Allah.

Kitab Suci dapat menjadi terang kalau Kitab Suci dapat bermakna, berperan serta mempunyai arti bagi Gereja dan dalam kehidupan nyata setiap orang beriman. Kalau demikian setiap segi kehidupan yang diperjuangkan, setiap keputusan dan pilihan yang diambil, harus diperjuangkan dan diambil berdasarkan semangat Kristus yang terungkap dalam Kitab Suci. Lalu Kitab Suci sungguh-sungguh menjadi sumber inspirasi hidup Kristen, sebagaimana dikatakan dalam Dekrit Tentang Kerasulan Awam, “Hanya dalam cahaya iman dan dalam renungan sabda Allah, seorang selalu dan di mana-mana dapat mengenal Allah, dalam siapa kita hidup, bergerak dan ada (Kisah 17:28); dapat mencari kehendakNya dalam tiap kejadian, dapat melihat Kristus di dalam semua orang, baik yang dekat maupun yang asing, dapat mempertimbangkan dengan tepat makna yang benar dan nilai dari hal-hal duniawi di dalam dirinya dan dalam hubungannya dengan tujuan manusia” (AA 4). Agar Kitab Suci sungguh menjadi sumber inspirasi hidup Kristen seluruh bidang dan segi kehidupan Gereja harus dijiwai oleh Kitab Suci (DV 21, 24, 25).; segenap lapisan dan tingkat warga Gerejapun demikian: para imam, diakon, katekis, semua orang Kristen, biarawan-biarawati, aktivis umat (DV 22.25; PC 6; AA 4).

Tinggallah suatu pertanyaan besar: jalan mana yang harus ditempuh agar Kitab Suci sungguh ditempatkan di tengah-tengah kehidupan Gereja, pada segala tingkat dan lapisan dan sungguh dapat menjadi sumber inspirasi bagi hidup Kristen? Untuk menjawab pertanyaan ini, baiklah diingat kembali salah satu pertanyaan yang diajukan tentang Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi, dalam rangka persiapan Sinode Uskup 1985 yang mengevaluasi Konsili Vatikan II: “Bagaimana Konstitusi Tentang Wahyu Ilahi dimengerti dan diterapkan sehingga pemahaman wahyu ilahi dan Kitab Suci lebih luas pengaruhnya dan masuk ke dalam kehidupan kaum beriman?”. Pemahaman tertentu mengenai wahyu dan Kitab Suci akan menentukan juga bagaimana Kitab Suci berperan dalam kehidupan (Lih Martin Harun, Bagaimanakah Alkitab diterima Umat Kita, Ekawarta 3 [1987] hal 4-5). Kami yakin bahwa sebelum yang lain, paham dasar mengenai wahyu dan Kitab Suci, serta paham-paham lain yang berhubungan dengan paham dasar itu harus ditanamkan terlebih dahulu. Maka dalam rangkaian tulisan ini, akan dicoba dijelaskan secara populer pemahaman-pemahaman dasar yang terdapat dalam Konstitusi Dogmatis Tentang Wahyu Ilahi dan ditunjukkan akibat-akibat praktis dalam membaca Kitab Suci.

I. Suharyo Pr.
Seminari Tinggi St. Paulus
Yogyakarta
1989

Baca juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar