Dalam
melaksanakan tugas sebagai
pengajar saya sangat terkesan akan banyaknya
pertanyaan-pertanyaan mengenai Kitab Suci yang diajukan kepada saya. Banyak
di antaranya yang diajukan
beberapa kali dalam
berbagai kesempatan. Para penanya
umumnya berpendapat bahwa
jawaban-jawaban yang mereka dengar sangat berharga untuk memperbesar
penghargaan mereka terhadap Kitab
Suci dan membantu
mereka dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam
hidup keseharian mereka. Atas dasar
itu, saya memutuskan untuk mengumpulkan dan menerbitkannya.
Diusahakan
agar gaya bahasa
dalam buku ini tidak terlalu resmi
dan lebih merupakan
percakapan sehari-hari. Kadang-kadang
cara orang mengajukan pertanyaan masih melekat dalam ingatan saya, meskipun
saya tidak setuju dengan cara pengungkapannva. Dalam hal seperti ini, dalam jawaban saya, saya
tunjukkan mengapa saya tidak sependapat
dengan cara pengungkapannya. Perbedaan
dalam memilih kata-kata seringkali menjadi bagian dari
masalah yang dipertanyakan. Misalnya saja
persoalan mengenai Petrus dalam Perjanjian Baru akan saya bahas
dengan mengemukakan berbagai
peranan Petrus, seperti tergambar
dalam Perjanjian Baru.
Lalu setelah saya lakukan itu, seseorang
melontarkan pertanyaan yang lugas: "Apakah Petrus seorang
Paus." Saya tidak pernah menggunakan istilah itu, tetapi ingin mendapat
jawab akan persoalan tersebut.
Bagaimana seseorang dapat
menjawab secara langsung pertanyaan yang
diungkapkan begitu buruk, tanpa
terjebak dalam "anakronisme," adalah
suatu seni tersendiri.
Dalam kesempatan tanya-jawab, sejauh
pengalaman saya, suatu pertanyaan mengenai
suatu topik seringkali mengarah kepada pertanyaan lain
yang sejenis. Saya
memutuskan untuk mengutamakan
hal-hal sejenis dalam buku ini dan saya rangkai 101 pertanyaan sesuai
topik dan bukannya
disusun menurut tingkat kepentingannya. Namun tidak seluruhnya sistematis. Urutan topik
menggambarkan pola-pola pemikiran
yang menyebabkan orang mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Pemilihan
pertanyaan bukanlah berdasar penilaian mengenai apa yang
paling penting dalam
pemahaman Kitab Suci. Pemilihan itu lebih dipengaruhi oleh
perhatian para penanya, yang ditujukan kepada saya selama bertahun-tahun. Saya
ingin mengingatkan bahwa buku ini
ditujukan bagi para awam, bukan bagi para cendekiawan. Sebagai
contoh, Kisah 6:1-6
amat penting untuk memahami
keadaan Gereja Perdana.
Di sana dikisahkan perselisihan pertama dalam Gereja Kristen,
yang melibatkan orang-orang Ibrani
dan Hellenis. Meskipun demikian, orang
tidak pernah tergelitik
untuk bertanya tentang para
Hellenis karena bagi mereka kurang aktual. Di lain pihak, aspek
Perjanjian Baru apa pun yang disampaikan dalam kuliah
atau ceramah, orang
akan terangsang untuk bertanya
mengenai saudara-saudara Yesus. Persoalan
apakah saudara-saudara Yesus
adalah juga anak Maria, jarang sekali menjadi topik studi Perjanjian Baru.
Akan tetapi, hal
itu ada kaitannya dengan Kitab Suci, yang banyak mereka jumpai dalam
kehidupan sehari-hari dan merupakan
teka-teki bagi mereka.
Kalau
dalam buku ini ditampilkan persoalan-persoalan yang oleh
para cendekiawan mungkin tidak hanya
dianggap tidak penting, tetapi malahan perlu dihindari, toh dalam
buku ini ditampilkan. Karena pertanyaan-pertanyaan itu memang berasal dari penanya.
Misalnya saja mengenai
"perawan yang mengandung."
Ada yang menyarankan agar topik
yang begitu peka lebih
baik dihindari dalam diskusi umum dengan alasan hal itu dapat rmenganggu
iman. Hal peka demikian
bukanlah privilese bagi para
cendekiawan, sebab para penanya
juga merasa bahwa disini kita menghadapi masalah yang sulit
dan harus ditanggapi dengan hati-hati.
Saya
seorang imam Katolik
dan sebagian besar pembicaraan saya
saya tujukan kepada
ummat Katolik maka
tidak terhindarkan bahwa akan
ada nada Katolik dalam buku ini. Walaupun demikian,
pengalaman saya mengajar
selama bertahun-tahun di banyak
seminari Protestan, telah menyadarkan saya bahwa banyak
persoalan tetap menarik bagi umat
lain, khususnya karena dalam
kehidupan mereka, mereka juga
berhubungan dengan umat
Katolik. Misalnya saja pertanyaan di
atas: apakah Maria mempunyai
anak-anak lain atau tetap perawan. Pertanyaan semacam ini sering
diajukan oleh umat Protestan sebab mereka ingin melihat,
bagaimana seorang cendekiawan Katolik dapat tetap teguh
pandangannya mengenai Maria, padahal
menurut mereka itu tidak sesuai dengan Alkitab. Untuk
menjawabnya, saya mencoba memaparkan bukti Alkitabiah seobjektif
mungkin, menjelaskan kapan bukti Alkitabiah itu berakhir, serta kapan interpretasi
terhadapKitab Suci dalam
kehidupan Gereja selama
berabad-abad menambah pandangan baru. Kalau bukti
menurut Alkitab itu sendiri
tidak jelas, menurut
pendapat saya, orang harusmenerimanya.
Saya tidak melihat alasan mengapa orang-orang Kristen dari
berbagai Gereja yang
berbeda, tidak dapat sependapat
mengenai bukti Alkitabiah dan
mengenai maksud penulis Kitab
Suci (sampai pada tingkat yang bisa diterima oleh ilmu pengetahuan).
Pasti mereka akan berbeda pendapat mengenai apa arti Kitab Suci dalam berbagai aspek kehidupan
Gereja. Dengan demikian,
fokus perbedaan menjadi
lebih jelas. Sering terjadi orang beradu argumen tentang sesuatu yang
tidak jelas dalam Kitab Suci dan
itu sebenarnya yang dipakai
sebagai dasar dari perbedaan
sikap selama ini. Hal ini membantu menghilangkan tuduhan dalam
perdebatan antar umat Kristen
bahwa pihak lain
tidak alkitabiah. Sering terjadi bukti
alkitabiah yang sama
ditafsirkan dalam berbagai cara
yang berbeda dan masing-masing
merasa setia kepada Kitab Suci.
Mereka yang telah menghabiskan hidupnya
untuk mempelajari Kitab Suci, mungkin akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini dengan cara yang
berbeda-beda. Tanggapan dalam
buku ini adalah tanggapan
pribadi, terdorong oleh keinginan untuk membantu pembaca
menanggapi
pertanyaan-pertanyaan serupa yang
mereka jumpai dalam hidup sehari-hari.
Semoga usaha ini dapat dimanfaatkan.
R.E.B.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar