1. Membaca Kitab Suci menimbulkan soal, antara lain karena Sabda Allah ditulis dalam bahasa manusia. “Sabda-sabda Allah yang diungkapkan dengan bahasa manusia menjadi serupa dengan pembicaraan manusiawi” (DV 13). Itu berarti bahwa tulisan-tulisan dalam Kitab Suci terikat pada tempat, waktu dan budaya tertentu. Kitab Suci ditulis dalam bahasa Ibrani dan Yunani yang asing bagi kita. Cara berpikir dan mengungkapkan diri serta iman para penulis Kitab Suci sangat berbeda dan jauh dari kita. Para penulis itu mengungkapkan iman mereka dalam jenis-jenis dan bentuk-bentuk tulisan tertentu yang lazim pada jaman, tempat dan kebudayaan mereka. Jenis-jenis dan bentuk-bentuk tulisan inilah yang sekarang akan diperhatikan. Masalah ini dibicarakan dalam Dei Verbum 12, yang antara lain mengatakan, “Untuk menemui maksud pengarang suci antara lain harus diperhatikan jenis sastra. Sebab kebenaran dikemukakan dan diungkapkan dengan cara yang lain dalam karangan-karangan jenis historis, profetis, puitis atau jenis kesusasteraan yang lainnya .... Sebab kalau mau mengerti dengan tepat yang hendak dinyatakan dalam tulisannya oleh pengarang suci, harus diperhatikan benar-benar baik cara-cara yang lazim dipakai orang jaman pengarang suci itu dalam merasa, berbicara dan menceritakan maupun cara yang pada jaman itu biasanya dipakai dalam pergaulan antara manusia”.
2. Suatu toko buku biasanya diatur menjadi beberapa bagian. Ada bagian untuk menempatkan buku-buku pelajaran atau kuliah; bagian lain untuk kamus, bagian lain lagi untuk novel, majalah atau koran. Kalau kita mulai membaca buku-buku atau tulisan-tulisan itu, kita akan merasa bahwa memang berbagai macam tulisan itu berbeda: bentuknya, bahasanya dan tentu saja cara serta sikap membacanya. Seorang pelajar akan membaca buku pelajaran dengan konsentrasi penuh. Lain halnya kalau ia membaca tabloid ‘Bola’. Ia akan melihat-lihat foto, membaca beritanya, mungkin hanya sambil lalu saja. Lain lagi kalau ia membaca novel. Ia akan menikmatinya dengan cara yang samasekali lain kalau dibandingkan dengan ketika ia membaca buku pelajaran. Jadi ada bermacam-macam jenis tulisan. Setiap jenis tulisan dipakai untuk menyampaikan maksud-maksud tertentu. Penyelidikan yang lebih teliti akan membawa kita lebih jauh. Kalau kita membaca koran KOMPAS misalnya - kita akan melihat bahwa di dalamnya masih ada bermacam-macam bentuk tulisan: iklan, berita lelayu, Oom pasikom, laporan peristiwa dalam negri, berita olah raga dan masih banyak lagi yang lain. Seorang yang akan menawarkan barang dagangannya, tidak akan memasang berita lelayu, melainkan memasang iklan. Kalau orang mau menyindir ia tidak akan memakai laporan peristiwa, melainkan memakai lakon Pailul. Jadi pesan yang mau disampaikan mencari bentuk yang tepat untuk menyampaikan pesan itu. Itulah yang disebut jenis sastra dan bentuk sastra.
3. Kecuali pesan yang mau disampaikan masih ada unsur-unsur lain yang ikut menentukan pemakaian jenis dan bentuk sastra, misalnya kebudayaan, waktu dan tempat. Kebudayaan Jawa mempunyai tembang (jenis sastra) yang dapat berarti megatruh, dandanggula, kinanti dan sebagainya (= bentuk sastra). Kebudayaan Melayu terkenal dengan pantun-pantunnya. Jaman revolusi menghasilkan puisi-puisi perjuangan, lagu-lagu mars, novel-novel revolusi, sedang jaman kemerdekaan ternyata membuahkan nyanyian-nyanyian yang lain coraknya (jaipong?), puisi-puisi yang lain dan novel-novel yang lain pula. Setiap jenis sastra, setiap bentuk sastra mempunyai aturan permainan sendiri dan harus dibaca atau ditanggapi dengan sikap-sikap yang sesuai. Suatu berita olahraga tidak akan dibaca sebagai puisi dan sebaliknya. Suatu sapaan “Apa kabar”, tidak akan ditanggapi dengan pertanyaan balik, “Kabar yang mana?”. Seandainya demikian relasi tidak akan terbangun dengan mulus. Jadi jenis sastra dan bentuk sastra pada umumnya ialah cara yang di jaman dan lingkungan kebudayaan tertentu umum dipakai untuk menyatakan isi hati, pikiran dan kebenaran. Masing-masing jenis sastra an bentuk sastra ada kaidah dan patokannya sendiri untuk mengungkapkan kebenaran yang dimaksudkan. Pengertian akan hal ini akan sangat membantu kita untuk mempunyai sikap yang benar terhadap Kitab Suci dan mengertinya secara benar pula.
4. Kitab Suci bukanlah satu jenis buku atau tulisan yang dikarang oleh orang yang sama, pada waktu yang sama. Kitab Suci terdiri dari dua bagian besar, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama terdiri dari empatpuluh enam tulisan dan boleh disebut sebagai tulisan-tulisan yang mengungkapkan iman Israel sebagai bangsa yang disapa oleh Allah sepanjang sejarah hidup mereka yang berlangsung lebih dari sepuluh abad. Israel sebagai bangsa yang hidup menghasilkan berbagai macam tulisan, misalnya:
a. Kisah-kisah: dengan mendengarkan kisah-kisah masa lampau, orang disadarkan sebagai anggota suatu keluarga yang sama, yang sedang menempuh sejarah hidup yang sama pula.
b. Kisah-kisah kepahlawanan: ini pun termasuk kisah masa lampau. Maksud utama kisah-kisah semacam ini adalah untuk menimbulkan semangat dan untuk menghormati para pahlawan mungkin dengan cara membesar-besarkan peristiwa demi kehormatan pahlawan itu.
c. Hukum: berperan untuk mengorganisasi masyarakat sehingga kehidupan bersama sebagai umat Allah subur dan berkembang.
d. Liturgi: ibadat mengungkapkan kehidupan bersama ini, seperti halnya perjamuan mempersatukan keluarga. Tindakan-tindakan keagamaan menunjukkan hubungan antara manusia dengan Allah.
e. Syair: kidung dan mazmur adalah ungkapan perasaan hati dan iman umat.
f. Nubuat: bukan terutama berarti ramalan akan masa depan, melainkan pernyataan bahwa rencana dan karya Allah tidak mungkin tidak terlaksana.
g. Kebijaksanaan: merupakan permenungan atas pertanyaan-pertanyaan dasar manusia: apakah kehidupan, kematian, kasih, kejahatan? Mengapa ada penderitaan?
Kita harus teliti dalam membaca Kitab Suci. Perbedaan-perbedaan jenis-jenis ini harus diperhatikan, karena setiap jenis atau bentuk mempunyai ciri-cirinya sendiri. Kita tidak membaca kisah penciptaan (Kej 1) sebagai suatu uraian ilmiah positif, karena yang kita temukan disana adalah syair untuk kepentingan ibadat. Demikian juga kisah penyeberangan Laut Merah bukan suatu laporan pandangan mata (Kel 14). Kisah ini adalah suatu kisah kepahlawanan. Maka sejauh mungkin, kalau kita membaca Kitab Suci atau bagiannya, kita harus mengajukan pertanyaan: termasuk jenis atau bentuk sastra apakah tulisan ini? Apa akibatnya untuk pemahaman teks yang sedang kita baca? Pertanyaan ini sangat sulit dijawab karena banyak jenis-jenis sastra dan bentuk-bentuk sastra yang dipakai dalam Perjanjian Lama (dan juga Perjanjian Baru), tidak kita kenal lagi sebagai sarana yang dipakai oleh orang-orang pada abad ini untuk mengemukakan isi hati dan kebenaran.
5. Perjanjian Baru terdiri dari duapuluh tujuh tulisan, yang terdiri dari empat Injil, satu Kisah Para Rasul, satu kitab Wahyu, yang lain adalah surat. Ada surat Paulus, Petrus, Yohanes dan yang lain. Dalam jenis sastra Injil kita temukan bentuk sastra perumpamaan, mukjijat, pertikaian pendapat, pengajaran dan yang lain. Dalam surat terdapat madah, rumusan iman. Jenis dan bentuk sastra inipun mempunyai kaidahnya sendiri-sendiri. Injil mulai dengan karya Yesus di Galilea dan berakhir dengan wafat dan kebangkitanNya di Yerusalem. Namun ini semua tidak diceritakan sebagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Injil selalu merupakan keaksian iman bahwa Yesus tetap hidup dan berkarya sekarang juga. Surat-surat Paulus selalu diawali dengan sapaan, disusul dengan doa, dilanjutkan dengan isi pokok surat dan ditutup dengan salam. Beberapa contoh akan disebut secara garis besar:
a. Kisah mukjijat: biasanya mempunyai lima unsur, yaitu (i) pendahuluan; (ii) permohonan untuk campur tangan. Permohonan ini menunjukkan iman orang yang bersangkutan atau orang-orang yang berada di sekelilingnya; (iii) campur tangan dilakukan; (iv) akibat diceritakan; (v) reaksi orang-orang yang menyaksikan peristiwa: takut, kagum, heran.
b. Perumpamaan: biasanya digunakan untuk menyampaikan pengajaran supaya pengajaran itu mudah ditangkap. Kecuali itu juga untuk membantu para pendengar untuk menilai diri sendiri, membuat keputusan untuk diri sendiri tanpa menyadarinya.
c. Kisah panggilan: biasanya tidak panjang (perjumpaan sekilas - panggilan jawaban) dan dipolakan pada kisah-kisah panggilan dalam Perjanjian Lama. Dengan demikian ditunjukkan bahwa Yesus memanggil dengan kuasa yang sama dengan kuasa Allah.
d. Pidato perpisahan: seorang yang mempunyai keududukan atau berperan besar dalam kehidupan (Yesus, Paulus) ketika tahu bahwa akhir hidupnya sudah dekat, memberikan pesan-pesan terakhir sebagai wasiat kepada para murid.
e. Pertikaian pendapat: pola yang dipakai adalah yang biasa diantara para terpelajar, yaitu para rabbi. Biasanya pertikaian pendapat mengandung unsur-unsur ini: (i) suatu sabda atau tindakan Yesus menimbulkan keheranan di pihak para pendengar (sering dibuat-buat); (ii) debat mulai dengan rumus, “tidakkah kaubaca dalam Kitab Suci ....” atau “tidak percayakah kamu ....”; (iii) pada akhirnya, masalah yang sesungguhnya muncul. Orang perlu menentukan pilihan dan seringkali ada perbedaan antar kelompok.
f. Penampakan: bentuk ini digunakan untuk menunjukkan kehadiran Allah. Penampakan yang terjadi di gunung Sinai sangat besar pengaruhnya untuk bentuk sastra ini selanjutnya. Di gunung Sinai digambarkan adanya petir, api, gunung yang berguncang untuk menunjukkan bahwa Allah hadir. Peristiwa ini membuat orang ketakutan. Inilah pula bentuk yang digunakan dalam peristiwa Pentakosta, Maria menerima kabar dari malaikat, makam kosong. Kita tidak boleh berpikir bahwa memang demikianlah yang terjadi, melainkan kehadiran Allah yang secara istimewa dialami. Kalau dikatakan bahwa orang-orang yang melihatnya “takut”, yang dimaksudkan ialah orang itu menyadari dirinya di hadirat Allah.
g. Apokaliptik: Jenis ini masih lebih menakjubkan lagi. yang menonjol ialah nada penderitaan, karena jenis ini muncul dalam tahap sejarah yang gelap, yang diwarnai oleh penganiayaan. Yang mau disampaikan adalah kepastian dalam hati orang beriman, bahwa Allah adalah Tuhan atas sejarah. Pada akhirnya Ia akan campur tangan dan menang, yaitu kalau kekuasaan jahat tampil dalam kepenuhannya. Bintang-bintang akan jatuh, bumi bergetar, langit runtuh dan akan datang langit baru dan bumi baru.
6. Berikut ini akan diberikan dua macam contoh kisah mukjijat dan kisah panggilan.
a. Mukjijat Yoh 5:1-17
(i) Teks: silahkan mencarinya di dalam Kitab suci Anda masing-masing.
(ii) Bentuk:
- bentuk kisah adalah ceritera tentang suatu perbuatan, pekerjaan yang mengagumkan.
- pengalaman kekaguman dan penghormatan pribadi dihubungkan dengan pengalaman puncak: kebangkitan Yesus Kristus.
(iii) Langkah-langkah kisah
ayat 1-4 gambaran panggung
di Yerusalem - di pintu gerbang domba - di kolam Betesda - keistimewaan kolam
suasana kolam: banyak orang menunggu keajaiban
ayat 5-9a orang lumpuh (ayat 5)
dialog dengan Yesus tentang penyembuhan (ayat 6-7)
sabda penyembuhan (ayat 8)
akibat sabda penyembuhan (ayat 9a) (apa yang dikerjakan Yesus?)
ayat 9b-16 hari sabat (ayat 9b)
orang lumpuh yang disembuhkan dan orang Yahudi (ayat 10-13) (tafsiran)
orang lumpuh yang disembuhkan bertemu dengan Yesus di Kenisah (ayat 14-15) [Tafsiran]
hari Sabat dan maknanya (ayat 16)
ayat 17 sabda Yesus
ayat 18 kesimpulan kisah.
(iv) Kisah mukjijat: dalam Yoh 5:1-17 sebetulnya kisah mukjijat tidak menjadi pokok. Yang menjadi pokok renungan penginjil ialah bagaimana orang lumpuh berkat sabda Yesus mampu berdiri dan berjalan. Sedang kisah tentang kolam sebagai sumber penyembuhan, merupakan kisah tradisional yang ada di mana-mana. Maka yang penting adalah pesan tentang karya Yesus, yang mampu merubah cakrawala kehidupan seseorang berkat iman orang itu kepadaNya. Dengan demikian kisah mukjijat dalam injil adalah kisah karya Yesus yang membawa keselamatan. Kisah itu diwartakan dalam rangka pembinaan iman, bukan demi kisah mukjijat itu sendiri.
b. Kisah panggilan Mrk 1:16-20 dan Mrk 2:14
(i) Teks: akan disusun sedemikian rupa sehingga tampak polanya.
(a) Mrk 1:16-18
Ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea
Ia melihat
Simon dan Andreas, saudara Simon.
Mereka sedang menebarkan jalan di danau.
sebab mereka penjala ikan.
Yesus berkata kepada mereka,
Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.
Lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.
(b). Mrk 1:19-20
Dan setelah Yesus meneruskan perjalananNya sedikit lagi dilihatNya
Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya sedang membereskan jala di dalam perahu.
Yesus segera memanggil mereka.
dan mereka meninggalkan ayahnya, Zebedeus di dalam perahu
bersama orang-orang upahannya dan mengikuti Dia.
(c) Mrk 2:14
Ketika Ia berjalan lewat di situ
Ia melihat
Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai, lalu
Ia berkata kepadanya,
Ikutlah Aku!
Maka berdirilah ia dan mengikutiNya.
(ii) Unsur-unsur yang selalu kembali: Yesus yang berjalan, melihat, berkata, memanggil. Murid-murid yang meninggalkan (sesuatu) dan segera mengikuti Yesus.
(iii) Pesan yang mau disampaikan
(a) Yesus yang berjalan: kita berjumpa dengan pribadi Yesus yang mengesankan, yang selalu bergerak maju untuk melaksanakan rencana Bapa.
(b) Yesus yang berprakarsa: yang digambarkan berperan aktif dalam kisah panggilan ini adalah Yesus. Ia melihat, berkata, memanggil. Menjadi murid Yesus adalah anugerah yang diberikan oleh Yesus dengan cuma-cuma. Menjadi murid Yesus adalah rahmat (= gratia, gratis) yang harus diterima dengan penuh syukur, bukan kedudukan yang harus direbut. Dalam Mrk 5:18-19 diceritakan seorang yang mencoba mendaftarkan diri menjadi murid Yesus, tetapi Yesus tidak memperkenankannya. Para murid dipanggil untuk mengikatkan diri dengan Yesus dan terlibat dalam pelaksanaan rencana penyelamatan.
(c) Jawaban para murid diberikan dengan segera. Mereka tidak bertanya, juga tidak mengatakan apa-apa, melainkan pergi dan mengikuti Yesus. Mengikuti secara harafiah berarti berjalan di belakang seseorang. Secara rohani, tindakan itu berarti menyesuaikan cita-cita, semangat dan sikap hidup dengan tokoh yang diikuti. Yang tidak kalah penting diperhatikan adalah bahwa mereka meninggalkan hal-hal yang perlu untuk menjamin kehidupan mereka yang ‘aman’, yaitu jala, perahu, orang tua, orang upahan. Kesediaan seperti ini sebenarnya merupakan gagasan yang umum dalam seluruh Kitab Suci, sebagai jawaban pribadi terhadap kehadiran Allah yang mau melibatkan seseorang dalam karya penyelamatanNya.
Dua contoh di atas kiranya cukup untuk melihat bahwa kisah-kisah dalam Kitab Suci bukan sekedar laporan peristiwa. Pesan-pesan yang tersembunyi di balik kisah adalah sabda Allah yang mau menyapa manusia sebagai sahabat.
7. Kalau Anda mau mendalami masalah ini, silahkan membaca buku yang sangat bagus: G. Lohfink, Sekarang Saya Memahami Kitab Suci, Kanisius, Yogyakarta 1974
St. Darmawijaya Pr
I. Suharyo Pr
Seminari Tinggi St. Paulus
Yogyakarta.
1989
2. Suatu toko buku biasanya diatur menjadi beberapa bagian. Ada bagian untuk menempatkan buku-buku pelajaran atau kuliah; bagian lain untuk kamus, bagian lain lagi untuk novel, majalah atau koran. Kalau kita mulai membaca buku-buku atau tulisan-tulisan itu, kita akan merasa bahwa memang berbagai macam tulisan itu berbeda: bentuknya, bahasanya dan tentu saja cara serta sikap membacanya. Seorang pelajar akan membaca buku pelajaran dengan konsentrasi penuh. Lain halnya kalau ia membaca tabloid ‘Bola’. Ia akan melihat-lihat foto, membaca beritanya, mungkin hanya sambil lalu saja. Lain lagi kalau ia membaca novel. Ia akan menikmatinya dengan cara yang samasekali lain kalau dibandingkan dengan ketika ia membaca buku pelajaran. Jadi ada bermacam-macam jenis tulisan. Setiap jenis tulisan dipakai untuk menyampaikan maksud-maksud tertentu. Penyelidikan yang lebih teliti akan membawa kita lebih jauh. Kalau kita membaca koran KOMPAS misalnya - kita akan melihat bahwa di dalamnya masih ada bermacam-macam bentuk tulisan: iklan, berita lelayu, Oom pasikom, laporan peristiwa dalam negri, berita olah raga dan masih banyak lagi yang lain. Seorang yang akan menawarkan barang dagangannya, tidak akan memasang berita lelayu, melainkan memasang iklan. Kalau orang mau menyindir ia tidak akan memakai laporan peristiwa, melainkan memakai lakon Pailul. Jadi pesan yang mau disampaikan mencari bentuk yang tepat untuk menyampaikan pesan itu. Itulah yang disebut jenis sastra dan bentuk sastra.
3. Kecuali pesan yang mau disampaikan masih ada unsur-unsur lain yang ikut menentukan pemakaian jenis dan bentuk sastra, misalnya kebudayaan, waktu dan tempat. Kebudayaan Jawa mempunyai tembang (jenis sastra) yang dapat berarti megatruh, dandanggula, kinanti dan sebagainya (= bentuk sastra). Kebudayaan Melayu terkenal dengan pantun-pantunnya. Jaman revolusi menghasilkan puisi-puisi perjuangan, lagu-lagu mars, novel-novel revolusi, sedang jaman kemerdekaan ternyata membuahkan nyanyian-nyanyian yang lain coraknya (jaipong?), puisi-puisi yang lain dan novel-novel yang lain pula. Setiap jenis sastra, setiap bentuk sastra mempunyai aturan permainan sendiri dan harus dibaca atau ditanggapi dengan sikap-sikap yang sesuai. Suatu berita olahraga tidak akan dibaca sebagai puisi dan sebaliknya. Suatu sapaan “Apa kabar”, tidak akan ditanggapi dengan pertanyaan balik, “Kabar yang mana?”. Seandainya demikian relasi tidak akan terbangun dengan mulus. Jadi jenis sastra dan bentuk sastra pada umumnya ialah cara yang di jaman dan lingkungan kebudayaan tertentu umum dipakai untuk menyatakan isi hati, pikiran dan kebenaran. Masing-masing jenis sastra an bentuk sastra ada kaidah dan patokannya sendiri untuk mengungkapkan kebenaran yang dimaksudkan. Pengertian akan hal ini akan sangat membantu kita untuk mempunyai sikap yang benar terhadap Kitab Suci dan mengertinya secara benar pula.
4. Kitab Suci bukanlah satu jenis buku atau tulisan yang dikarang oleh orang yang sama, pada waktu yang sama. Kitab Suci terdiri dari dua bagian besar, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama terdiri dari empatpuluh enam tulisan dan boleh disebut sebagai tulisan-tulisan yang mengungkapkan iman Israel sebagai bangsa yang disapa oleh Allah sepanjang sejarah hidup mereka yang berlangsung lebih dari sepuluh abad. Israel sebagai bangsa yang hidup menghasilkan berbagai macam tulisan, misalnya:
a. Kisah-kisah: dengan mendengarkan kisah-kisah masa lampau, orang disadarkan sebagai anggota suatu keluarga yang sama, yang sedang menempuh sejarah hidup yang sama pula.
b. Kisah-kisah kepahlawanan: ini pun termasuk kisah masa lampau. Maksud utama kisah-kisah semacam ini adalah untuk menimbulkan semangat dan untuk menghormati para pahlawan mungkin dengan cara membesar-besarkan peristiwa demi kehormatan pahlawan itu.
c. Hukum: berperan untuk mengorganisasi masyarakat sehingga kehidupan bersama sebagai umat Allah subur dan berkembang.
d. Liturgi: ibadat mengungkapkan kehidupan bersama ini, seperti halnya perjamuan mempersatukan keluarga. Tindakan-tindakan keagamaan menunjukkan hubungan antara manusia dengan Allah.
e. Syair: kidung dan mazmur adalah ungkapan perasaan hati dan iman umat.
f. Nubuat: bukan terutama berarti ramalan akan masa depan, melainkan pernyataan bahwa rencana dan karya Allah tidak mungkin tidak terlaksana.
g. Kebijaksanaan: merupakan permenungan atas pertanyaan-pertanyaan dasar manusia: apakah kehidupan, kematian, kasih, kejahatan? Mengapa ada penderitaan?
Kita harus teliti dalam membaca Kitab Suci. Perbedaan-perbedaan jenis-jenis ini harus diperhatikan, karena setiap jenis atau bentuk mempunyai ciri-cirinya sendiri. Kita tidak membaca kisah penciptaan (Kej 1) sebagai suatu uraian ilmiah positif, karena yang kita temukan disana adalah syair untuk kepentingan ibadat. Demikian juga kisah penyeberangan Laut Merah bukan suatu laporan pandangan mata (Kel 14). Kisah ini adalah suatu kisah kepahlawanan. Maka sejauh mungkin, kalau kita membaca Kitab Suci atau bagiannya, kita harus mengajukan pertanyaan: termasuk jenis atau bentuk sastra apakah tulisan ini? Apa akibatnya untuk pemahaman teks yang sedang kita baca? Pertanyaan ini sangat sulit dijawab karena banyak jenis-jenis sastra dan bentuk-bentuk sastra yang dipakai dalam Perjanjian Lama (dan juga Perjanjian Baru), tidak kita kenal lagi sebagai sarana yang dipakai oleh orang-orang pada abad ini untuk mengemukakan isi hati dan kebenaran.
5. Perjanjian Baru terdiri dari duapuluh tujuh tulisan, yang terdiri dari empat Injil, satu Kisah Para Rasul, satu kitab Wahyu, yang lain adalah surat. Ada surat Paulus, Petrus, Yohanes dan yang lain. Dalam jenis sastra Injil kita temukan bentuk sastra perumpamaan, mukjijat, pertikaian pendapat, pengajaran dan yang lain. Dalam surat terdapat madah, rumusan iman. Jenis dan bentuk sastra inipun mempunyai kaidahnya sendiri-sendiri. Injil mulai dengan karya Yesus di Galilea dan berakhir dengan wafat dan kebangkitanNya di Yerusalem. Namun ini semua tidak diceritakan sebagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Injil selalu merupakan keaksian iman bahwa Yesus tetap hidup dan berkarya sekarang juga. Surat-surat Paulus selalu diawali dengan sapaan, disusul dengan doa, dilanjutkan dengan isi pokok surat dan ditutup dengan salam. Beberapa contoh akan disebut secara garis besar:
a. Kisah mukjijat: biasanya mempunyai lima unsur, yaitu (i) pendahuluan; (ii) permohonan untuk campur tangan. Permohonan ini menunjukkan iman orang yang bersangkutan atau orang-orang yang berada di sekelilingnya; (iii) campur tangan dilakukan; (iv) akibat diceritakan; (v) reaksi orang-orang yang menyaksikan peristiwa: takut, kagum, heran.
b. Perumpamaan: biasanya digunakan untuk menyampaikan pengajaran supaya pengajaran itu mudah ditangkap. Kecuali itu juga untuk membantu para pendengar untuk menilai diri sendiri, membuat keputusan untuk diri sendiri tanpa menyadarinya.
c. Kisah panggilan: biasanya tidak panjang (perjumpaan sekilas - panggilan jawaban) dan dipolakan pada kisah-kisah panggilan dalam Perjanjian Lama. Dengan demikian ditunjukkan bahwa Yesus memanggil dengan kuasa yang sama dengan kuasa Allah.
d. Pidato perpisahan: seorang yang mempunyai keududukan atau berperan besar dalam kehidupan (Yesus, Paulus) ketika tahu bahwa akhir hidupnya sudah dekat, memberikan pesan-pesan terakhir sebagai wasiat kepada para murid.
e. Pertikaian pendapat: pola yang dipakai adalah yang biasa diantara para terpelajar, yaitu para rabbi. Biasanya pertikaian pendapat mengandung unsur-unsur ini: (i) suatu sabda atau tindakan Yesus menimbulkan keheranan di pihak para pendengar (sering dibuat-buat); (ii) debat mulai dengan rumus, “tidakkah kaubaca dalam Kitab Suci ....” atau “tidak percayakah kamu ....”; (iii) pada akhirnya, masalah yang sesungguhnya muncul. Orang perlu menentukan pilihan dan seringkali ada perbedaan antar kelompok.
f. Penampakan: bentuk ini digunakan untuk menunjukkan kehadiran Allah. Penampakan yang terjadi di gunung Sinai sangat besar pengaruhnya untuk bentuk sastra ini selanjutnya. Di gunung Sinai digambarkan adanya petir, api, gunung yang berguncang untuk menunjukkan bahwa Allah hadir. Peristiwa ini membuat orang ketakutan. Inilah pula bentuk yang digunakan dalam peristiwa Pentakosta, Maria menerima kabar dari malaikat, makam kosong. Kita tidak boleh berpikir bahwa memang demikianlah yang terjadi, melainkan kehadiran Allah yang secara istimewa dialami. Kalau dikatakan bahwa orang-orang yang melihatnya “takut”, yang dimaksudkan ialah orang itu menyadari dirinya di hadirat Allah.
g. Apokaliptik: Jenis ini masih lebih menakjubkan lagi. yang menonjol ialah nada penderitaan, karena jenis ini muncul dalam tahap sejarah yang gelap, yang diwarnai oleh penganiayaan. Yang mau disampaikan adalah kepastian dalam hati orang beriman, bahwa Allah adalah Tuhan atas sejarah. Pada akhirnya Ia akan campur tangan dan menang, yaitu kalau kekuasaan jahat tampil dalam kepenuhannya. Bintang-bintang akan jatuh, bumi bergetar, langit runtuh dan akan datang langit baru dan bumi baru.
6. Berikut ini akan diberikan dua macam contoh kisah mukjijat dan kisah panggilan.
a. Mukjijat Yoh 5:1-17
(i) Teks: silahkan mencarinya di dalam Kitab suci Anda masing-masing.
(ii) Bentuk:
- bentuk kisah adalah ceritera tentang suatu perbuatan, pekerjaan yang mengagumkan.
- pengalaman kekaguman dan penghormatan pribadi dihubungkan dengan pengalaman puncak: kebangkitan Yesus Kristus.
(iii) Langkah-langkah kisah
ayat 1-4 gambaran panggung
di Yerusalem - di pintu gerbang domba - di kolam Betesda - keistimewaan kolam
suasana kolam: banyak orang menunggu keajaiban
ayat 5-9a orang lumpuh (ayat 5)
dialog dengan Yesus tentang penyembuhan (ayat 6-7)
sabda penyembuhan (ayat 8)
akibat sabda penyembuhan (ayat 9a) (apa yang dikerjakan Yesus?)
ayat 9b-16 hari sabat (ayat 9b)
orang lumpuh yang disembuhkan dan orang Yahudi (ayat 10-13) (tafsiran)
orang lumpuh yang disembuhkan bertemu dengan Yesus di Kenisah (ayat 14-15) [Tafsiran]
hari Sabat dan maknanya (ayat 16)
ayat 17 sabda Yesus
ayat 18 kesimpulan kisah.
(iv) Kisah mukjijat: dalam Yoh 5:1-17 sebetulnya kisah mukjijat tidak menjadi pokok. Yang menjadi pokok renungan penginjil ialah bagaimana orang lumpuh berkat sabda Yesus mampu berdiri dan berjalan. Sedang kisah tentang kolam sebagai sumber penyembuhan, merupakan kisah tradisional yang ada di mana-mana. Maka yang penting adalah pesan tentang karya Yesus, yang mampu merubah cakrawala kehidupan seseorang berkat iman orang itu kepadaNya. Dengan demikian kisah mukjijat dalam injil adalah kisah karya Yesus yang membawa keselamatan. Kisah itu diwartakan dalam rangka pembinaan iman, bukan demi kisah mukjijat itu sendiri.
b. Kisah panggilan Mrk 1:16-20 dan Mrk 2:14
(i) Teks: akan disusun sedemikian rupa sehingga tampak polanya.
(a) Mrk 1:16-18
Ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea
Ia melihat
Simon dan Andreas, saudara Simon.
Mereka sedang menebarkan jalan di danau.
sebab mereka penjala ikan.
Yesus berkata kepada mereka,
Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.
Lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.
(b). Mrk 1:19-20
Dan setelah Yesus meneruskan perjalananNya sedikit lagi dilihatNya
Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya sedang membereskan jala di dalam perahu.
Yesus segera memanggil mereka.
dan mereka meninggalkan ayahnya, Zebedeus di dalam perahu
bersama orang-orang upahannya dan mengikuti Dia.
(c) Mrk 2:14
Ketika Ia berjalan lewat di situ
Ia melihat
Lewi anak Alfeus duduk di rumah cukai, lalu
Ia berkata kepadanya,
Ikutlah Aku!
Maka berdirilah ia dan mengikutiNya.
(ii) Unsur-unsur yang selalu kembali: Yesus yang berjalan, melihat, berkata, memanggil. Murid-murid yang meninggalkan (sesuatu) dan segera mengikuti Yesus.
(iii) Pesan yang mau disampaikan
(a) Yesus yang berjalan: kita berjumpa dengan pribadi Yesus yang mengesankan, yang selalu bergerak maju untuk melaksanakan rencana Bapa.
(b) Yesus yang berprakarsa: yang digambarkan berperan aktif dalam kisah panggilan ini adalah Yesus. Ia melihat, berkata, memanggil. Menjadi murid Yesus adalah anugerah yang diberikan oleh Yesus dengan cuma-cuma. Menjadi murid Yesus adalah rahmat (= gratia, gratis) yang harus diterima dengan penuh syukur, bukan kedudukan yang harus direbut. Dalam Mrk 5:18-19 diceritakan seorang yang mencoba mendaftarkan diri menjadi murid Yesus, tetapi Yesus tidak memperkenankannya. Para murid dipanggil untuk mengikatkan diri dengan Yesus dan terlibat dalam pelaksanaan rencana penyelamatan.
(c) Jawaban para murid diberikan dengan segera. Mereka tidak bertanya, juga tidak mengatakan apa-apa, melainkan pergi dan mengikuti Yesus. Mengikuti secara harafiah berarti berjalan di belakang seseorang. Secara rohani, tindakan itu berarti menyesuaikan cita-cita, semangat dan sikap hidup dengan tokoh yang diikuti. Yang tidak kalah penting diperhatikan adalah bahwa mereka meninggalkan hal-hal yang perlu untuk menjamin kehidupan mereka yang ‘aman’, yaitu jala, perahu, orang tua, orang upahan. Kesediaan seperti ini sebenarnya merupakan gagasan yang umum dalam seluruh Kitab Suci, sebagai jawaban pribadi terhadap kehadiran Allah yang mau melibatkan seseorang dalam karya penyelamatanNya.
Dua contoh di atas kiranya cukup untuk melihat bahwa kisah-kisah dalam Kitab Suci bukan sekedar laporan peristiwa. Pesan-pesan yang tersembunyi di balik kisah adalah sabda Allah yang mau menyapa manusia sebagai sahabat.
7. Kalau Anda mau mendalami masalah ini, silahkan membaca buku yang sangat bagus: G. Lohfink, Sekarang Saya Memahami Kitab Suci, Kanisius, Yogyakarta 1974
St. Darmawijaya Pr
I. Suharyo Pr
Seminari Tinggi St. Paulus
Yogyakarta.
1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar